ISLAM NUSANTARA - NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Cari Disini

SALAAMUN QOULAN MIN ROBBIRROHIIM
Perseteruan panjang ummat islam sejak wafatnya Rosululloh SAW seakan tiada habisnya, saling mengkalim ahlus sunnah wal jama'ah, dengan memproklamirkan kebenaran keyakinannya, apa sebenarnya makna kebenaran itu, dimana kebenaran itu berada, milik siapa kebenaran itu sebenarnya?dan bagaimana kita mengetahui kebenaran itu sendiri?Mengapa Rosululloh SAW sangat menghormati agama lain?Dimanakah Kebenaran Islam?Agama islam sebagai panutan atau Agama islam anutan (yang dianut)?sebuah perbedaan tipis yang menjerumuskan Ummat.......
SELAMAT DATANG di PADEPOKAN WAHYU PAMUNGKAS

KERAJAAN MATARAM (Islam)

KERAJAAN MATARAM (Islam)


Penggantinya adalah putranya dari perkawinannya dengan ratu Hadi (putri pangeran Benowo) yang bernama Mas Jolang, berjuluk Panembahan Seda Krapyak dan bergelar Sultan Hanyokrowati (1601-1613), yang banyak menghadapi pemberontakan. Kegagalannya menaklukkan Surabaya walau di berbagai daerah berhasil, menyebabkan ia wafat di tahun 1613 dan dimakamkan di Kota Gede. Kemudian, anaknya yang menggantikan yaitu adipati Martapura yang sakit-sakitan segera digantikan oleh saudaranya bernama raden Rangsang yang berjuluk Sultan Agung Hanyokrokusuma (1613-1646).
Di bawah pemerintahan Sultan Agung, Mataram mengalami kejayaan, terhormat dan disegani sampai di luar Jawa. Karaton yang semula di Kerta dipindahkan ke Plered. Musuh bebuyutan Mataram yaitu Surabaya, dapat ditaklukkan. Sukadana-Kalimantan dapat juga ditundukkan. Madura dibuat tidak berdaya dan Sultan mengangkat adipati Sampang menjadi adipati Madura yang bergelar pangeran Cakraningrat I. Akhirnya seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur bernaung di bawah panji-panji Mataram, yang salah satu cara untuk mengikat para adipati adalah dengan mengawinkan putri-putri Mataram dengan mereka. Malah Sultan sendiri mengawini putri Cirebon, yang mengakibatkan Cirebon juga dapat ia kuasai. Namun Cita-citanya mempersatukan Jawa terganjal Kompeni Belanda yang berada di Batavia, sehingga untuk menaklukkan Banten yang tidak mau mengakuinya harus melenyapkan Kompeni terlebih dahulu. Maka disusunlah strategi penyerangan.
Saat Gubernur Jenderal dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen sekaligus wakil V.O.C. (Verrenigde Oost- Indische Compagni), Kompeni di tahun 1928 diserang Mataram walau mengalami kegagalan merobohkan benteng Belanda, akibat perbekalan pasukan yang habis, di samping Banten yang juga musuh Kompeni tapi hanya janji kosong ikut menyerang.Tanpa putus asa, Sultan menyerang kembali di tahun 1929, dengan mempersiapkan perahu-perahu berisi beras di sekitar perairan Batavia serta membuat gudang-gudang beras di Cirebon dan Krawang. Tapi ia gagal lagi, pasukannya kelaparan dan terjangkit berbagai penyakit akibat kalahnya perahu-perahunya dengan kapal-kapal Belanda serta gudang-gudang beras yang dibakar oleh mata-mata musuh, walau Coen yang kagum terhadap pasukan Mataram wafat saat Batavia dikepung pasukan Mataram.
Tanpa lelah, Sultan Agung melakukan penyerangan kembali, dengan sebelumnya mengirim penduduk Jawa Tengah dan Sumedang untuk membabat hutan belukar di Krawang menjadi daerah pertanian serta membuat jalan-jalan yang berhubungan dengan Mataram. Selain itu ia juga bersekutu dengan orang-orang Portugis di Malakka dan orangorang Inggris di Banten, untuk mempersulit pengiriman beras ke Batavia dan pedagangpedagang yang biasa ke Batavia ia alihkan langsung ke Malakka. Tapi Saat sedang konsentrasi kepada Kompeni, ada pemberontakan dari Sunan Giri yang ingin berkuasa di Jawa Timur, yang akhirnya berhasil ia redam termasuk Blambangan yang dapat ditaklukkan walau tidak lama kemudian bergabung kembali dengan Bali. Sementara itu Belanda semakin kuat dan menguasai laut dengan mengalahkan orang-orang Portugis.
Saat giat-giatnya Sultan mempersiapkan penyerangan untuk menghapus Belanda, tanpa disangka ia wafat (1646), sehingga menggagalkan cita-citanya dalam membasmi Kompeni. Yang menarik juga, ia dikenal bukan saja sebagai raja besar dan panglima ulung, tapi juga sebagai orang Islam yang ta’at beribadah dan menjadi contoh dalam kerajinannya dalam sholat Jum’at.
Di tahun 1633 ia mengadakan tarikh baru yaitu dari tarikh Saka yang berdasarkan tahun matahari (1 tahun = 365 hari) menjadi tarikh Jawa-Islam yang berdasarkan tahun bulan (1 tahun= 354 hari), sesuai tarikh Islam. Tahun 1633 itu adalah tahun Saka 1555 dan tahun Saka ini menjadi tahun Jawa-Islam 1555 pula. Sedangkan untuk memperkokoh dirinya sebagai pemimpin Islam, ia mengirim utusan ke Mekkah dan yang di tahun 1641 kembali dengan membawa para ahli agama untuk menjadi penasehat Karaton dan memperoleh gelar Sultan ‘Abdul Muhammad Maulana Matarami.
Pengganti Sultan Agung adalah Mangkurat Agung/Mangkurat I (1646-1677) atau juga dikenal sebagai Sunan Seda Tegalarum yang bertahta di Kartasura, dan selanjutnya digantikan oleh Mangkurat Amral / Mangkurat II (1677-1703), kemudian Mangkurat Mas/Mangkurat III (1703-1704), seterusnya pangeran Puger/Sunan Pakoeboewono I (1708-1719), lalu Mangkurat Jawi/Mangkurat IV (1719-1727), yang dilanjutkan oleh Sunan Pakoeboewono II (1727-1745) dan memindahkan karaton ke Surakarta (1745-1749). Namun saat digantikan putranya yaitu Sunan Pakoeboewono III (1749-1788), Mataram yang daerahnya sudah semakin sempit akibat kelihaian Belanda terpecah menjadi 2 (dua), yaitu satunya Surakarta tetap diperintah Sunan Pakoeboewono III, sedangkan Yogyakarta diberikan kepada pamannya sendiri yang bergelar Sultan Hamengkoeboewono I (1755-1792).
Putra dari pangeran Mangkunagara (salah satu putra Mangkurat IV) yaitu raden mas Said atau dikenal dengan julukan pangeran Sambernyawa, walau sangat tangguh melawan Kompeni tapi juga rasa hormat terhadap Pakoeboewono III, akhirnya bersedia bersepakat yang mana raden mas Said diberi kekuasaan serupa raja, tapi dengan beberapa pengecualian.
Ia bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Mangkunagoro I dan berkedudukan di pura Mangkunegaran – Surakarta (1757-1795). Ini, merupakan hasil dari perjanjian Gianti. Sedangkan di Yogyakarta pada tahun 1812 beberapa putra Sultan, selain ada yang menggantikan dirinya menjadi Sultan Hamengkoeboewono II (1792-1812), maka salah satu putranya di tahun 1812 yang barangkali untuk sepadan dengan Surakarta diangkat dan dibentuk pura sejenis Mangkunegaran dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria (KGPAA) Paku Alam I (1812 -1828).
Karya Kesusasteraan mengenai riwayat pecahnya kerajaan Mataram dalam tahun 1755 dan 1757 yang berubah menjadi Kasultanan Yogyakarta serta Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran, ada pada riwayat /Babad Giyanti karangan Yasadipura, yang betul betul sebuah sejarah dan sangat menarik dan menceritakan tentang pecahnya Mataram.
Sejak tahun 1945, kerajaan di Surakarta dan di Yogyakarta, mengakui dan melebur menjadi satu dengan Republik Indonesia, sehingga Karaton-Karaton tersebut disepakati hanya sebagai semacam institusi kekerabatan keluarga besar Karaton masing-masing, disamping ditetapkan oleh pemerintah sebagai cagar budaya. Kemudian di tahun 2000 ini pimpinan dari Karaton Surakarta adalah Sunan Pakubuwono XII, pura Mangkunegaran adalah K.G.P.A.A. Mangkunagoro IX, Karaton Yogyakarta adalah Sultan Hamengkubuwono X dan pura Pakualaman adalah K.G.P.A.A. Paku Alam IX, dengan segala warisan budayanya yang sangat diharapkan tak akan pernah punah.
1. Dalam budaya jawa ( kejawen ) , penyebutan ” Kakang Kawah Adi Ari-Ari” keberadaannya masih tersamar. Apalagi di zaman modern sekarang ini. Mitos saudara kembar yang ghaib ini cenderung di abaikan. Ini konsekuensi dari zaman maju. Dunia material cenderung meningkat, sedang kaweruh spiritual orang jawa kian gersang. Kita mencoba untuk memahami kembali Puasa Weton yang bagi orang jawa di percayai dapat memberikan pencerahan spiritual dengan berbagai mitosnya yang penuh dengan kesakralan dan religiusitas.
Hakikat Puasa menurut ” Wulang Reh “.
Sri Pakubuwono IV telah memberikan wewaler, peringatan, pada anak cucunya untuk pengekangan nafsu. Peringatan itu tertuang dalam karyannya Serat Wulang Reh, yang di tulis pada hari ahad kliwon, wunku sungsang, tanggal ke-19, bulan besar, mongso ke-delapan, windu sancaya dan di beri sengkalan : Tata-guna-Swareng-Nata ( 1735 ).
Ia bergelar : Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati Ing Ngalogo Abdur Rahman Sayyidin Panotogomo IV. Nama kecilnya adalah Bandoro Raden Mas Gusti sumbadyo, Putra Pakubuwono III dengan Kanjeng Ratu Kencana.
Dalam pupuh II Tembang Kinanthi ia menulis : “Podho Gulangen Ing Kalbu, Ing Sasamita Amrih Lantip, Ojo pijer mangan nendra, ing kaprawiran den kesthi, Pesunen sariraniro , Sudanen dhahar lan guling. (Wahai, asahlah di dalam hatimu biar tajam menangkap isyarat isyarat ghaib. jangan terlalu banyak makan dan tidur, kurangilah hal tersebut, cita citakan kaprawiran ” keluhuran budi “, agar bisa mengekang diri) “.
Inti yang cepat di tangkap dari wejangan ini menyangkut pada pengendalian diri dan cara yang harus di tempuh adalah dengan perpuasa.
WALAU PARA RAJA JAWA KUNO BERGAMA HINDU TAPI MEMILIKI HUBUNGAN TRANSENDENTAL DENGAN SANG PENCIPTA
RAJA PARA RAJA
WALAUPUN HINDU JIKA MENDALAMI KEBATINAN DALAM ISLAM TASAWUF
MENCARI TITIK PENCERAHAN, TUHAN
TENTU MENDAPATKAN PRIBADI YANG SAMA YAITU YANG MAHA TUNGAL
SANG HYANG WIDI
ALLAH



Bagikan artikel ini jika bermanfaat melalui: Facebook Twitter Google+
Posted by Mohammad Al Akbar, Published at 21:58 and have 0 komentar

No comments:

Post a Comment